2.02.2019

Borobudur, Bukti Kecanggihan Teknologi Peradaban Masa Lalu Nusantara


Borobudur, sebuah candi megah yang berdiri di sebuah bukit yang terletak kira-kira 40 km di barat daya Yogyakarta, 7 km di selatan Magelang, Jawa Tengah, diperkirakan dibangun sekitar tahun 824 Masehi oleh Raja Mataram Kuno bernama Samaratungga dari dinasti Syailendra. Candi yang terbesar di dunia dengan tinggi 34,5 meter, luas 15.129 m2 terlihat begitu impresif dan berat 1,3 juta ton itu berdiri  “kokoh” tanpa ada satu paku pun yang tertancap di ‘tubuh’-nya.


Sampai saat ini ada beberapa hal yang masih menjadi bahan misteri seputar berdirinya Candi Borobudur. Salah satu misteri yang masih belum terungkap sampai sekarang adalah teknologi pembangunan candi Borobudur. Bagaimana membangun Borobudur tanpa menancapkan ratusan paku untuk mengokohkan fondasinya? Seperti diketahui, struktur dan konstruksi candi Borobudur tidak memakai semen sama sekali, melainkan sistem interlock seperti balok-balok Lego yang bisa menempel tanpa lem.
Kecanggihan teknologi masa kini pun belum mampu mengungkap misteri ini. Berbagai penelitian para arkeolog memunculkan berbagai teori tentang teknologi pembangunan candi. Beberapa waktu lalu, 3 orang peneliti muda Indonesia dari Bandung Fe Institut, mengungkapkan teori, bahwa  pembangunan Candi Borobudur menggunakan teknologi berbasis “geometri fraktal.”
Fraktal adalah bentuk geometris yang memiliki elemen-elemen yang mirip secara keseluruhan, berwujud kasar dan dapat dibagi-bagi dengan cara yang radikal. Fraktal memiliki detail yang tak terhingga, dan dapat memiliki struktur serupa pada tingkat perbesaran yang berbeda. Candi Borobudur sendiri merupakan stupa raksasa yang di dalamnya terdiri dari stupa-stupa lain yang lebih kecil. Dari hasil penelitian itu terbukti, ternyata Candi Borobudur dibangun dengan prinsip-prinsip fraktal.
Suatu hal ‘keajaiban’ alam yang sulit diterima secara logika, jika ternyata peradaban dan teknologi nusantara ternyata telah mencapai puncak ‘kecanggihan’ di abad 9. Itu adalah  11 abad sebelum bangsa barat mengalami puncak keemasan seperti sekarang, sebab istilah ‘fraktal’ yang diambil dari bahasa Latin itu sendiri justru baru ditemukan oleh Benoit Mandelbrot pada tahun 1975.
Sementara selama ini kita mungkin menganggap bahwa grafik peradaban dan teknologi bergerak lurus, dan abad 21 adalah puncak dari peradaban dan teknologi dunia dan semua ‘wajib’ berkiblat ke barat (Eropa dan Amerika). Namun dengan ditemukannya ‘tanda-tanda’ dan kemungkinan teknologi modern dalam pembangunan Candi Borobudur, ini bisa menjadi bantahan atas anggapan itu. Grafik peradaban dan sains-teknologi (iptek) berbanding lurus, tapi keduanya tidak bergerak lurus terhadap waktu (zaman), alias fluktuatif.
Berarti, sangat dimungkinkan peradaban nusantara telah mencapai puncak peradaban dunia pada era abad ke-9. Ini didukung dengan catatan sejarah nusantara yang mencapai puncak kejayaan era pertama pada masa 4 abad kerajaan Sriwijaya (abad 7-11). Kejayaan Sriwijaya adalah simbol dari puncak peradaban dan sains-teknologi nusantara, termasuk di dalam intervalnya  masa pembangunan Borobudur dan dinasti Syailendra. Lalu grafik ini mengalami penurunan dan mencapai titik nadir dengan runtuhnya kerajaan Sriwijaya.
Grafik peradaban nusantara baru mangalami kenaikan lagi dengan berdirinya kerajaan Singasari pada abad 13, peletak dasar fondasi kerajaan Majapahit yang akhirnya berjaya selama 3 abad (1292-1500). Meskipun belum ada penemuan bersejarah yang ‘setara’ dengan Borobudur, namun puncak peradaban dan sains-teknologi nusantara era kedua setelah Sriwijaya dimungkinkan ada pada masa Raja Hayam Wuruk dan Mahapatih Gajah Mada, ketika dengan Sumpah Palapa pada 1336 berhasil mempersatukan wilayah nusantara.
Namun grafik peradaban menurun kembali dan mencapai titik nadir dengan keruntuhan Majapahit di awal-awal abad 16, semenjak kedatangan bangsa Eropa dan mulai berdirinya kerajaan-kerajaan Islam nusantara, yang akhirnya juga sama-sama mengalami penurunan grafik peradaban, sejalan dengan keruntuhannya satu persatu setelah sempat berdiri dan berjaya selama beberapa abad.
Pola acak grafik peradaban antar bangsa-bangsa di dunia yang acak dan ‘unik.’ Di era ini Eropa justru sedang mengalami kenaikan grafik peradaban selepas dari ‘abad kegelapan,’ renaissance-humanisme, berbagai penemuan di bidang sains-teknologi, revolusi industri, penjelajahan samudera dan berkembangnya kolonialisme dan imperialisme di Amerika, Afrika dan Asia. Di saat yang sama, abad 16 ini pula grafik peradaban nusantara justru ‘terjun bebas.’
Seperti diketahui, kedatangan Portugal pada 1511,  Spanyol pada 1521, VOC (yang kemudian diambil alih pemerintah Belanda 1816)  pada 1602. 500 tahun penjajah dalam sejarah menjadikan peradaban nusantara terkapar di lembah terbawah. Di bawah kolonialisme Belanda selama 350 tahun nusantara berada dalam ‘zaman kegelapan,’ sebelum ‘era kebangkitan’ menggeliat di awal-awal abad 20. Politik Etis pemerintah Belanda 1901, termasuk investasi dalam pendidikan bagi pribumi dan sedikit perubahan politik, mengawali era ‘renaissance’ nusantara.
Transfer ilmu pengetahuan Eropa melalui pendidikan di era ini membuka kesadaran kaum terpelajar Indonesia dan menumbuhkan semangat nasionalisme dan perjuangan kemerdekaan untuk mengembalikan peradaban nusantara. Berdirinya Boedi Oetomo pada 1908 (yang kini dijadikan sebagai Hari kebangkitan Nasional) menjadi titik awal kenaikan grafik peradaban nusantara. Revolusi peradaban membuahkan hasil pada 1945 setelah Indonesia memproklamasikan diri sebagai negara merdeka.
Kini, setelah lebih dari satu abad sejak kebangkitan nusantara modern, grafik peradaban nusantara masih fluktuatif, nusantara seakan sedang ‘kebingungan’ identitas diri. Peradaban dan sains-teknologi yang sempat terkubur lebih dari 11 abad (bertolak dari era pembangunan candi Borobudur) masih terlalu dalam untuk digali kembali. Gempuran peradaban dan sains-teknologi barat modern yang terlanjur diadopsi generasi awal era 1900-an masih begitu kuat membentuk ‘model’ peradaban Indonesia, bahkan semakin mengakar dalam tata nilai kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Kadang kita seolah lupa, bahwa jauh sebelum barat dengan teknologi modern yang fantastis seperti sekarang, peradaban kita juga lebih tinggi, bahkan dalam beberapa hal, tak terjangkau logika di abad ini. Kita terlalu berorientasi ke ‘barat’ dan melupakan ‘timur,’ peradaban penuh ‘mukjizat’ tempat ‘ruh’ kita sendiri ditiupkan. Ketika wacana sejarah masa lampau dimunculkan, kita lebih menganggapnya sebagai mitos yang tak sejalan dengan logika ilmiah, prinsip-prinsip dasar sains-teknologi modern.
Padahal teknologi borobudur yang jika benar terbukti lebih tinggi dari teknologi modern abad 21, ini belum seberapa. Muhammad Isa Daud dalam bukunya, “Dajjal Akan Muncul Dari Segitiga Bermuda” mengemukakan pandangan yang lebih ekstrem. 3.000 tahun lalu justru manusia telah menemukan sebuah teknologi yang lebih spektakuler, yang untuk saat ini hanya ada dalam film, dongeng atau legenda. Di zaman Nabi (Raja) Sulaiman (diperkirakan 989-931 SM), seorang manusia yang bernama Asif Bin Barkhiya telah mampu memindahkan singgasana istana Ratu Balqis (sekarang Yaman) ke istana Sulaiman di Palestina.
Dengan berpijak dari prinsip-prinsip dasar teori relativitas, teknologi ini memungkinkan seseorang memindahkan benda (materi) dari jarak yang jauh dalam kecepatan cahaya, utuh sempurna dengan kerusakan 0%. Sebuah ‘kecanggihan’ ilmu manusia, sebagian menyebutnya sebagai ‘mukjizat’ yang bahkan mengalahkan kemampuan ‘teknologi’ jin. Kisah ini diabadikan dalam Al Qur’an (An-Naml, ayat 38-40), ketika Sang Raja menawarkan ‘tender’ kepada dua orang ‘digdaya’ untuk memindahkan singgasana istana Ratu Balqis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar