Borobudur, sebuah candi megah
yang berdiri di sebuah bukit yang terletak kira-kira 40 km di barat daya
Yogyakarta, 7 km di selatan Magelang, Jawa Tengah, diperkirakan dibangun
sekitar tahun 824 Masehi oleh Raja Mataram Kuno bernama Samaratungga dari
dinasti Syailendra. Candi yang terbesar di dunia dengan tinggi 34,5 meter, luas
15.129 m2 terlihat begitu impresif dan berat 1,3 juta ton itu berdiri
“kokoh” tanpa ada satu paku pun yang tertancap di ‘tubuh’-nya.
Sampai
saat ini ada beberapa hal yang masih menjadi bahan misteri seputar berdirinya
Candi Borobudur. Salah satu misteri yang masih belum terungkap sampai sekarang
adalah teknologi pembangunan candi Borobudur. Bagaimana membangun Borobudur
tanpa menancapkan ratusan paku untuk mengokohkan fondasinya? Seperti diketahui,
struktur dan konstruksi candi Borobudur tidak memakai semen sama sekali,
melainkan sistem interlock seperti balok-balok Lego yang bisa menempel tanpa
lem.
Kecanggihan
teknologi masa kini pun belum mampu mengungkap misteri ini. Berbagai penelitian
para arkeolog memunculkan berbagai teori tentang teknologi pembangunan candi.
Beberapa waktu lalu, 3 orang peneliti muda Indonesia dari Bandung Fe Institut,
mengungkapkan teori, bahwa pembangunan Candi Borobudur menggunakan
teknologi berbasis “geometri fraktal.”
Fraktal
adalah bentuk geometris yang memiliki elemen-elemen yang mirip secara
keseluruhan, berwujud kasar dan dapat dibagi-bagi dengan cara yang radikal.
Fraktal memiliki detail yang tak terhingga, dan dapat memiliki struktur serupa
pada tingkat perbesaran yang berbeda. Candi Borobudur sendiri merupakan stupa raksasa
yang di dalamnya terdiri dari stupa-stupa lain yang lebih kecil. Dari hasil
penelitian itu terbukti, ternyata Candi Borobudur dibangun dengan
prinsip-prinsip fraktal.
Suatu
hal ‘keajaiban’ alam yang sulit diterima secara logika, jika ternyata peradaban
dan teknologi nusantara ternyata telah mencapai puncak ‘kecanggihan’ di abad 9.
Itu adalah 11 abad sebelum bangsa barat mengalami puncak keemasan seperti
sekarang, sebab istilah ‘fraktal’ yang diambil dari bahasa Latin itu sendiri
justru baru ditemukan oleh Benoit Mandelbrot pada tahun 1975.
Sementara
selama ini kita mungkin menganggap bahwa grafik peradaban dan teknologi
bergerak lurus, dan abad 21 adalah puncak dari peradaban dan teknologi dunia
dan semua ‘wajib’ berkiblat ke barat (Eropa dan Amerika). Namun dengan
ditemukannya ‘tanda-tanda’ dan kemungkinan teknologi modern dalam pembangunan
Candi Borobudur, ini bisa menjadi bantahan atas anggapan itu. Grafik peradaban
dan sains-teknologi (iptek) berbanding lurus, tapi keduanya tidak bergerak
lurus terhadap waktu (zaman), alias fluktuatif.
Berarti,
sangat dimungkinkan peradaban nusantara telah mencapai puncak peradaban dunia
pada era abad ke-9. Ini didukung dengan catatan sejarah nusantara yang mencapai
puncak kejayaan era pertama pada masa 4 abad kerajaan Sriwijaya (abad 7-11).
Kejayaan Sriwijaya adalah simbol dari puncak peradaban dan sains-teknologi
nusantara, termasuk di dalam intervalnya masa pembangunan Borobudur dan
dinasti Syailendra. Lalu grafik ini mengalami penurunan dan mencapai titik nadir
dengan runtuhnya kerajaan Sriwijaya.
Grafik
peradaban nusantara baru mangalami kenaikan lagi dengan berdirinya kerajaan
Singasari pada abad 13, peletak dasar fondasi kerajaan Majapahit yang akhirnya
berjaya selama 3 abad (1292-1500). Meskipun belum ada penemuan bersejarah yang
‘setara’ dengan Borobudur, namun puncak peradaban dan sains-teknologi nusantara
era kedua setelah Sriwijaya dimungkinkan ada pada masa Raja Hayam Wuruk dan
Mahapatih Gajah Mada, ketika dengan Sumpah Palapa pada 1336 berhasil mempersatukan
wilayah nusantara.
Namun
grafik peradaban menurun kembali dan mencapai titik nadir dengan keruntuhan
Majapahit di awal-awal abad 16, semenjak kedatangan bangsa Eropa dan mulai
berdirinya kerajaan-kerajaan Islam nusantara, yang akhirnya juga sama-sama mengalami
penurunan grafik peradaban, sejalan dengan keruntuhannya satu persatu setelah
sempat berdiri dan berjaya selama beberapa abad.
Pola
acak grafik peradaban antar bangsa-bangsa di dunia yang acak dan ‘unik.’ Di era
ini Eropa justru sedang mengalami kenaikan grafik peradaban selepas dari ‘abad
kegelapan,’ renaissance-humanisme, berbagai penemuan di bidang sains-teknologi,
revolusi industri, penjelajahan samudera dan berkembangnya kolonialisme dan
imperialisme di Amerika, Afrika dan Asia. Di saat yang sama, abad 16 ini pula
grafik peradaban nusantara justru ‘terjun bebas.’
Seperti
diketahui, kedatangan Portugal pada 1511, Spanyol pada 1521, VOC
(yang kemudian diambil alih pemerintah Belanda 1816) pada 1602. 500 tahun
penjajah dalam sejarah menjadikan peradaban nusantara terkapar di lembah
terbawah. Di bawah kolonialisme Belanda selama 350 tahun nusantara berada dalam
‘zaman kegelapan,’ sebelum ‘era kebangkitan’ menggeliat di awal-awal abad 20.
Politik Etis pemerintah Belanda 1901, termasuk investasi dalam pendidikan bagi
pribumi dan sedikit perubahan politik, mengawali era ‘renaissance’
nusantara.
Transfer
ilmu pengetahuan Eropa melalui pendidikan di era ini membuka kesadaran kaum
terpelajar Indonesia dan menumbuhkan semangat nasionalisme dan perjuangan kemerdekaan
untuk mengembalikan peradaban nusantara. Berdirinya Boedi Oetomo pada 1908
(yang kini dijadikan sebagai Hari kebangkitan Nasional) menjadi titik awal
kenaikan grafik peradaban nusantara. Revolusi peradaban membuahkan hasil pada
1945 setelah Indonesia memproklamasikan diri sebagai negara merdeka.
Kini,
setelah lebih dari satu abad sejak kebangkitan nusantara modern, grafik
peradaban nusantara masih fluktuatif, nusantara seakan sedang ‘kebingungan’
identitas diri. Peradaban dan sains-teknologi yang sempat terkubur lebih dari
11 abad (bertolak dari era pembangunan candi Borobudur) masih terlalu dalam
untuk digali kembali. Gempuran peradaban dan sains-teknologi barat modern yang
terlanjur diadopsi generasi awal era 1900-an masih begitu kuat membentuk
‘model’ peradaban Indonesia, bahkan semakin mengakar dalam tata nilai kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Kadang
kita seolah lupa, bahwa jauh sebelum barat dengan teknologi modern yang
fantastis seperti sekarang, peradaban kita juga lebih tinggi, bahkan dalam
beberapa hal, tak terjangkau logika di abad ini. Kita terlalu berorientasi ke
‘barat’ dan melupakan ‘timur,’ peradaban penuh ‘mukjizat’ tempat ‘ruh’ kita
sendiri ditiupkan. Ketika wacana sejarah masa lampau dimunculkan, kita lebih
menganggapnya sebagai mitos yang tak sejalan dengan logika ilmiah,
prinsip-prinsip dasar sains-teknologi modern.
Padahal
teknologi borobudur yang jika benar terbukti lebih tinggi dari teknologi modern
abad 21, ini belum seberapa. Muhammad Isa Daud dalam bukunya, “Dajjal Akan
Muncul Dari Segitiga Bermuda” mengemukakan pandangan yang lebih ekstrem. 3.000
tahun lalu justru manusia telah menemukan sebuah teknologi yang lebih
spektakuler, yang untuk saat ini hanya ada dalam film, dongeng atau legenda. Di
zaman Nabi (Raja) Sulaiman (diperkirakan 989-931 SM), seorang manusia yang
bernama Asif Bin Barkhiya telah mampu memindahkan singgasana istana Ratu
Balqis (sekarang Yaman) ke istana Sulaiman di Palestina.
Dengan berpijak dari prinsip-prinsip dasar teori relativitas,
teknologi ini memungkinkan seseorang memindahkan benda (materi) dari jarak yang
jauh dalam kecepatan cahaya, utuh sempurna dengan kerusakan 0%. Sebuah
‘kecanggihan’ ilmu manusia, sebagian menyebutnya sebagai ‘mukjizat’ yang bahkan
mengalahkan kemampuan ‘teknologi’ jin. Kisah ini diabadikan dalam Al
Qur’an (An-Naml, ayat 38-40), ketika Sang Raja menawarkan ‘tender’ kepada
dua orang ‘digdaya’ untuk memindahkan singgasana istana Ratu Balqis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar